Curhatan (Mantan) Editor Galau – Menguasai Bahasa Menulis
Ini repost dari fesbuk saya yang ini. Saya posting ulang karena ternyata masih juga berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari dan beberapa tulisan yang sering saya baca, dengan tambahan beberapa coretan di sana-sini. Postingan ini bukan untuk menggurui atau sejenisnya. Postingan ini saya anggap sangat bermanfaat, terutama buat saya yang sedang belajar menulis fiksi. No offense 😀

Sebenarnya terlalu basi kalau saya curhat sekarang ini. Hehehe… Sebab, sekarang ini saya tidak bekerja di media (lagi). Tapi saya tergelitik untuk curhat, setelah membaca ‘curhatan’ mas Irwan Bajang, editor sekaligus Pemred Indie Book Corner di situsnya
Apa jadinya jika seorang pendekar pedang tak paham karakter pedang yang ia gunakan? Tak paham bagaimana tajam, berat dan ukuran pedangnya? Tidak mengerti bagaimana mengayun, menusuk dan menyabet ke arah musuh?
Belakangan ini saya makin banyak mengedit beberapa novel dan cerpen. Sebagian bagus, sebagian lagi nggak terlalu bagus. Dari kegiatan ini, setidaknya saya bisa menyimpulkan satu hal: Kendala terbesar yang dihadapi penulis adalah rata-rata mereka memiliki penguasaan yang tidak bagus terhadap bahasa. Padahal, bahasa adalah senjata atau perangkat wajib bagi penulis dalam bekerja menghasilkan karyanya.
Masalah ini menjadi akut ketika seorang penulis menulis tanpa banyak membaca. Tanpa membaca, logika bertutur mustahil akan bagus. Keadaan paling kacau adalah ketika penulis tak paham bagaimana meletakkan titik atau koma dalam kutipan dialog tokohnya. Padahal, bagi saya, ini adalah jurus dasar menulis. Seorang penulis harus paham bagaimana menulis yang baik. Kalau malas belajar EYD, setidaknya belajarlah dari buku yang sudah terbit dan disunting dengan baik. Minimal, bagimana menulis tanda kutip dan titik koma dalam dialog.
Bayangkan, ada penulis yang menulis titik setelah tanda kutip di satu dialog, dan menulisnya di dalam tanda kutip pada dialog lain. Ah, ini keterlaluan! Tidak konsisten dan seolah meraba-raba bagaimana menulis tanda baca yang benar. Belum lagi penggunaan titik yang kebanyakan, tanda tanya dan tanda seru yang melimpah ruah. Hei, menulis untuk umum itu tidak boleh disamakan dengan menulis diary!
Itu baru kesalahan umum dan terjadi pada tingkat dasar sekali dalam menulis. Belum lagi dengan masalah efektifitas kalimat, pemborosan kata dan logika bercerita. Ayolah, editor itu bukan penyempurna tulisan, tapi teman mengobrol dan kosnsultasi bagi penulis. Penulis harus belajar dan belajar!
Jika membaca, seorang penulis tidak lagi hanya menjadi pembaca pasif seperti orang yang bekerja bukan sebagai penulis. Penulis membaca sambil bekerja, pekerjaannya adalah belajar dan menganalisa bacaannya.
Dalam beberapa situasi, penulis bisa disamakan dengan pendekar. Pendekar yang tak paham dengan pedangnya bisa saja menjadi ancaman bagi orang lain dan dirinya sendiri. Paham senjata, paham perangkat, baru bekerja.
Sebenarnya, apa yang dialami mas Irwan itu, juga dialami hampir semua editor. Sama persis. Kesalahan mendasar biasanya terletak pada kesalahan penempatan tanda baca dan terlalu banyak kata-kata mubazir. Jadinya, kalimat-kalimat yang ditulis terkesan ‘mbuletisasi‘ atau bahasa gaulnya, beritanya belum press claar. Sehingga perlu waktu ekstra untuk mengertinya.
Saya setuju dengan ungkapan beliau, bahwa editor itu bukanlah penyempurna tulisan, tapi teman ngobrol untuk mencari angle yang pas untuk sebuah tulisan. Ini persis dengan apa yang saya alami dulu, sewaktu masih jadi redaktur di media online. Oiya, dulu, mungkin saya dikenal sebagai redaktur yang kejam dan galak oleh anak buah teman-teman reporter. Apalagi, saya redaktur paling cantik waktu itu (baca: redaktur cewek the one and only, dua lainnya cowok :D). Biasanya, kalo cewek satu-satunya, kan selalu dijaga, tapi saya malah jadi tukang marah-marah dan tukang nagih berita kalo si reporter daerah belum setor juga..haha… maafken ya temans..
Menjelang siang, berita yang masuk di email mulai menumpuk. Begitu buka kiriman berita, ketika melihat paragraf pertamanya sudah kacau, biasanya langsung saya endapkan. Tidak saya edit, ganti ngedit berita yang lain. Ketika waktu agak luang, baru saya telepon si reporter, dan memintanya membetulkan tulisannya. Atau kalau biasanya berita urgen dan harus segera ‘dinaikkan’, saya langsung telepon reporternya dan memintanya bercerita, lalu saya ketik ulang beritanya. Saya pernah, memangkas berita yang dua lembar ms word, jadi setengah halaman, karena kebanyakan kalimat yang mbulet.
Cerita saya, mungkin masih ringan. Pemred saya dulu, si Mr. Lucky pernah bercerita, redaktur pada zamannya dulu, lebih kejam. Kalau berita dianggap belum press claar, redaktur tidak memanggil reporternya, tapi kertasnya langsung disobek tanpa ampun. Waktu itu, berita masih diketik pakai mesin ketik. Ketika zaman udah lebih maju, berita di ketik pakai komputer, biasanya malah langsung di-ctrl+A+del.

Seru ya.. Iya, buat redakturnya. Buat reporternya ya sakit hati doong..hehehe.. Saya pernah juga kok ngalamin yang namanya jadi reporter lapangan. Mulai magang di Depkominfo di bagian humasnya, jadi reporter radio, jadi reporter dan rekdaktur di beritajatim.com yang membesarkan dan membentuk karakter saya, sampai saya terdampar di kampus tercinta ini. Tapi, Alhamdulillah, redaktur saya waktu itu baiiiik seperti saya bener. Jadi saya gak sampai dibentak-bentak atau di-del beritanya. Cukup dikasih tau yang benar bagaimana 😀
Sekarang, saat saya belajar menulis fiksi, dan tentu saja banyak membaca tulisan-tulisan fiksi punya teman-teman yang tersebar bebas di blog, curhatan mas Irwan ini kembali menarik perhatian saya. Karena ada beberapa buku, cerpen atau sejenisnya, yang masih ada kesalahan penulisan. Ini jadi PR besar buat saya. Kalau menulis, harus dibaca berulang-ulang. Biar gak ada kesalahan menulis ejaannya. Kan menulis fiksi itu, beda banget sama nulis diary, seperti yang saya tulis ini. Kalo nulis kaya gini mah, pake ilmunya SSG aja Suka Suka Guweh 😆
Percaya deh sama saya, mengedit fiksi itu jauh lebih sulit dari mengedit berita. Harus ada sentuhan khusus biar dapat fillnya. Kita harus bisa klik dulu dengan ceritanya. Beda dengan ngedit berita, sesuai dengan fakta di lapangan. Gak perlu bahasa yang mendayu-dayu.
Terus kenapa ada galaunya? Yaiyes lah.. tentu aja galau. Dikejar deadline, dengan berita bertumpuk, sekira 20 berita per 30 menit (Per hari, itung aja sendiri :p), dengan jumlah redaktur cuma tiga gelintir orang. Belum lagi kalo ada foto berdarah-darah, harus diedit dulu di sotosop, krop sana-sini, buremin sana-sini. Benar-benar bikin galau kan? Belum lagi kalo si bos dalam keadaan gak enak ati. Yang kena getahnya tentu aja yang ada di kantor kan? Kan… Belum lagi kalo rank alexa kita turun atau kesalip media online tetangga. Duh! Redaktur ini yang bakal kena semprot. Dan lagi.. waktu saya jadi redaktur, lagi hamil gede. Kebayang kan, gimana stresnya eyke. Duduk manis di depan komputer dari jam 7 pagi sampe jam 5 sore, melototin layar monitor. Padahal kan, hamil besar harus sering jalan-jalan, mana kaki ini bengkak pula 🙁
Di luar semua itu, being journalist is the best experiences i ever had. 10 jempol buat teman-teman reporter 4 jempol sendiri – 2 jempol tangan, 2 jempol kaki – dan 6 pinjam jempol teman 😀
0 Comments
Teguh Puja
😀 😀 ~~ Menjadi editor memang luar bisa challenging. Wajib sabar. Tapi harus wajib juga bisa ngasih insight yang bagus buat penulis.
eda
betuuul…tantangan yang seru!
Teguh Puja
Lebih seneng nulis atau ngedit Mbak? hehe
eda
hmmm… apa yaaa… kalo skrg lbh seneng nulis..:D
Teguh Puja
Sedang terpikirkan mencoba nulis jenis-jenis baru mbak. Tulisan non-fiksi dan fiksi, dua-duanya punya tantangan sendiri.
eda
Coba nulis tutorial apa gitu.. cara2 dan kunci menulis fiksi.. aku jd muridnya deh 😀
Teguh Puja
Hehe, itu sudah sempat buat kan Mbak, meskipun belum benar-benar terstruktur per topik.
Aku mau coba nulis tentang ekranisasi Mbak. Review tentang film TKVDW. Semoga bisa cepat selesai.
eda
iya sih… coba dibikin buku maksudku, pasti byk yg butuh tuh…
semoga lancar semuanya yaa..
Teguh Puja
Mbak Eda coba buat juga. Pengalaman selama jadi editor berita itu. Bagus lho Mbak. Aku juga bakal butuh kalo ada. Hehe
eda
belum berani..ilmuku masih cetek 😀
Teguh Puja
Mbak, coba buka cinemapoetica.com –> kayaknya menarik
eda
dirimu jadi kontri juga di sana?
Teguh Puja
Belum mbak. Maunya jadi bagian dari mereka juga, nulis di sana, semoga aja ada tulisan yg diterima.
jampang
baru tahu kalau pernah jadi editor
*ya iyalah… follow2an aja baru beberapa waktu yg lalu*
😀
sepertinya saya sering tuh bikin kalimat yang nggak efektif dan efisien, banyak pemborosan
eda
editor abal-abal mas..hahaha…
potretbikers
menyimak saja dulu… 😉
eda
silakan gan 😀
nyonyasepatu
krik, aku tuh kalo nulis asal haha. banyak yang salah2 🙁
eda
Sama mba… skrg ini mah nulisnya pake ilmu SSG suka suka guweh..hehe..
kaprilyanto
Wah editor pasti cape banget tuh, apalagi deadline
eda
haha..iyaaa banget. berburu dengan waktu dan sabaaar…
Beby
Ada typo di tulisan Mas Irwan. Hihihi.. Berhubung ini bukan bersifat formal, ya sah-sah aja.
Btw, kenapa jadi bahas typo yak? :p
Lah.. Pernah jadi editor rupanya diri mu, Mbak Eda. 🙂
Kira-kira pusing ngga sih ngedit tulisan yang masuk? Kepo aku jadinya. Wkwkwk..
eda
iya, dari sononya, aku ambil aslinya. mau aku benerin ga enak 😀
typo termasuk salah satu kesalahaan ejaan toh? jadi masuk bahasan..hihihi..
pernah, bentar doang kok, kurleb 3 taun. dan pusingnya banget ngeeeeet… cenut2 rasanya. malah menuju ke galau..hahaha…
Beby
Wkwkwk.. Ngga tau juga sih, Mbak. Mata ini emang suka nangkep yang typo-typo :p
Cukup lama tuh, Mbak. Hihihi.. Banyak pengalaman ya, soal sunting-menyunting
eda
wah…suka nangkep sama yg typo, psti di sini buanyaaak luar biasa..hahaha…
Tituk
waaah pernah jadi editor toh? kereen… (aku dulu pernah pengin jadi jurnalis soalnya :))
coba tolong ya tulisan2ku yang gak karu2an itu dikomentari bagian mananya yg hrs diperbaiki…. kayanya tinggal seperempat tulisan deeeh nanti,,, yg lain hrs dibuang semua hahaha….
skrg gak kerja di media lagi kenapa da?
eda
editor abal-abal mba..hahaha..
kalo skrg mah, begitu ga kerja di media lagi, nulisnya pake ilmu SSG – suka-suka guweh 😆
waktu itu resign dan memilih berkarier ikut pemerintah (halah), setelah ara lahir. capek mba, kerja 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, kadang libur pun masih dituntut untuk standby. apalagi jadi redaktur, beeh… 24 jam sehari itu kayanya kuraaaaaang banget.. kasian anak 😀
Tituk
ooh iya sih… kalau udah punya anak emang orientasinya jadi berbeda 🙂
Saadah
Nasib editor yang kadang sekaligus jadi korektor. Editor seharusnya hanya ndandani logika dan struktur berpikir penulis, tp kalo penulis sudah gk ngerti soal titik koma, kata kerja, dan yang dasar2 cara menulis…tiba2 editor mau gk mau hrs jd korektor de..
eda
huahahaha…curhat nih buuuk… iya sih..kalo di media besar (biasanya cetak) ada korektor sendiri yg dr lulusan bahasa. editornya tinggal ndandani tulisannya. kalo kaya kita, ya editor ples korektor.. sabar buuk… semangat! :))
chris13jkt
Pembaca pun bingung kalau baca buku atau artikel yang bahasanya mbulet 😛
eda
perlu ditelaah lebih lanjut ya om? bacanya jd berulang-ulang akhirnya males 😀
cerita4musim
kebayang kalau jadi editor, bawaannya mau koreksi aja kalau baca artikel :))
eda
hahahaa..betul mba.. kemarin baca 2 ebook kumcer, kok banyak banget typo dan kata2 mubazir 😀
cerita4musim
nah ngeriii kan kalau tulisan aku dibaca kamu :))
eda
ngeri-ngeri sedaaap :))
Messa
Kalau gitu mari kita sama2 belajar menulis dgn benar mbak, supaya jadi Pendekar seperti kata curhatan sang editor itu 😉
eda
yuk mareeee….^_^
Danan Wahyu Sumirat
Mungkin kalo tulisan ku dimasukin ke koran atau majalah bakal diedit abis abisan banyak typo dan kat katanya ga efektif ixixixiixixi,
eda
hahaha…tapi gaya penulisannya mas danan oks punya kok… selain typo yah..:D
Danan Wahyu Sumirat
Typo itu ciri penulis dadakan
danirachmat
Makasih ya Nyah ilmunya. *mengingat blog sendiri langsung galau*
Hahahaha
eda
makasihnya ke mas irwan bajang, dan.. aku cuma tim hore 😀
kalo posting di blog, emg lebih enak gaya suka suka guwe.. hahaha…
danirachmat
Soalnya kapan itu kan pernah bikin cerpen. mihihi. makanya malu kalo inget itu Nyah. 😛
zoehdyhuda
ijin menyimak, tapi maaf yang di foto pas di beritajatim itu kayaknya ada mas pandu kakak kelas saya di kampus dulu
eda
haloo.. iya benar, itu pandu memang 😉
puteriamirillis
Asyik menikmati tulisanmu mbaaak….
eda
hihihi…slamat menikmati tulisanku yg acak kadut mba 😀
puteriamirillis
huaaa dah dibales…
lagi nyariin nama aslimu niih…
hihihi…
eda
sila diubek2..hahaha :p
silvi
da…*idiihh mulei sok ikrib ini yaa… 😀 * aku kan lagi belajar…pengen bisa jadi penulis, kalo baca postingan di atas salah satu nya adalah kita mesti banyak baca juga yaa…? kalo aku pengen bisa nulis fiksi *padahal gak gitu suka buku jenis itu* berarti harus banyak baca buku jenis fiksi juga ya?
eda
eh..gpp lagi mba..panggil nama 😀
iyes, kalo mau belajar nulis fiksi, harus sering2 baca. biar imajinasinya bisa melayang2 ke mana2 #halah
aku juga baru belajar kok mba..
Agfian Muntaha | @Ianfalezt
Haha, tulisannya menohok sekali buat saya yang sering muter-muter kalimatnya. 😀